Metode
identifikasi bakteri secara garis besar dapat dibagi menjadi teknik (1) genotipik
yang berdasarkan pada profil materi genetik suatu organisme (utamanya DNA) dan (2)
teknik fenotipik yang berdasarkan pada profil sifat metabolik maupun
beberapa aspek komposisi kimianya. Sebelum
berkembangnya teknik biologi molekuler, mikrobia dikarakterisasi berdasarkan
sifat morfologi, fisiologi, dan koloninya. Biotyping,
serotyping, bacteriocin typing, phage
typing, pola kerentanan terhadap anti mikrobia, dan metode berbasis protein
lainnya merupakan contoh metode fenotipik yang umumnya digunakan (Fakruddin,
2013).
Dasar Klasifikasi Bakteri (Prakash et
al., 2012).
Kelemahan metode fenotipik terkait tingkat reprodusibilitasnya, dimana metode
tersebut memberikan hasil yang berbeda-beda apabila diulang, sehingga dianggap
kurang handal (reliable). Selain itu,
metode ini juga mengkarakterisasi organisme berdasarkan produk ekspresi gen
yang sangat sensitif terhadap berbagai macam kondisi lingkungan seperti suhu
pertumbuhan, fase pertumbuhan, dan mutasi spontan. Kelemahan metode fenotipik
ini menjadi dasar pengembangan metode genotipik berbasis DNA. Sehingga, metode genotipik
berbasis DNA menjadi lebih popular dan diterima secara luas karena bersifat reprodusibel,
praktis, menunjukkan perbedaan antar spesies yang lebih kontras serta dapat
membantu menghindari duplikasi strain (Prakash et al., 2007). Metode genotipik ini dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu teknik berbasis sidik jari atau pola (Fingerprinting) dan teknik berbasis sekuen
atau urutan DNA (Sequencing/Alignment) (Prakash et al.,
2012). Pada artikel ini akan dibahas teknik rep-PCR sebagai wakil
analisis sidik jari (Fingerprinting) serta identifikasi menggunakan gen 16S rRNA dan gen
gyrB sebagai wakil teknik berbasis sekuen.
1. Analisis
Sidik Jari Menggunakan rep-PCR
Sebelumnya telah
disebutkan bahwa salah satu metode genotipik untuk identifikasi bakteri adalah
teknik berdasarkan sidik jari atau pola. Teknik ini secara khusus menggunakan metode sistematis
dalam menghasilkan serangkaian fragmen dari DNA kromosom organisme. Fragmen ini
selanjutnya dipisahkan berdasarkan ukuran untuk menghasilkan suatu profil atau
sidik jari yang bersifat unik untuk organisme tersebut dan kerabat terdekatnya.
Cukup dengan informasi ini, seseorang dapat membuat perpustakaan atau database
sidik jari organisme yang telah dikenal dan dibandingkan dengan organisme uji.
Ketika profil dari kedua organisme tersebut cocok, maka mereka dapat dianggap
berkerabat dekat, biasanya pada tingkat strain atau spesies (Frakash et al., 2007).
Ada beberapa macam teknik sidik jari yang telah digunakan secara luas
terutama untuk identifikasi strain bakteri di bidang epidemiologi serta ekologi
mikrobia. Secara garis besar ada dua pendekatan umum dari teknik sidik jari
untuk menentukan strain bakteri (Demezas, 2011). Pertama, berdasarkan analisis
RFLP yang mendeteksi variasi sekuens dengan membandingkan ukuran dan jumlah
fragmen restriksi yang dihasilkan melalui pemotongan DNA oleh enzim restriksi.
Kedua, variasi multipel amplikon dengan ukuran berbeda yang merupakan produk
amplifikasi dengan primer. Kelompok kedua ini mencakup repetitive sequence based-Polymerase Chain Reaction (rep-PCR)
(Versalovic et al., 1994), Randomly Amplified Polymorphic DNA
(RAPD) (Williams et al., 1990) dan Arbitrary Priming-PCR (AP-PCR) (Welsh &
McClelland, 1990).
Rep-PCR pertama kali diperkenalkan oleh Versalovic et al. (1991) dan menghasilkan sidik jari DNA yang terdiri atas
multipel amplikon DNA dengan ukuran berbeda-beda. Amplikon ini mengandung
segmen kromosom DNA yang bersifat unik yang berada diantara sekuen repetitif,
dimana sekuen repetitif tersebut menjadi target penempelan primer (tabel 1)
dengan sekuen repetitif (Versalovic et al.,
1999).
Ada tiga elemen sekuen DNA repetitif yang bersifat konservatif yang
biasa digunakan untuk tujuan typing, yaitu sekuen REP, ERIC, dan BOX (Genersch & Otten, 2003). Elemen REP (Repetitive
Extragenic Palindromic) merupakan unit palindromik yang mengandung loop yang
bervariasi pada struktur stem-loopnya (Stern et al., 1984). Elemen ERIC (Enterobacterial Repetitive Intergenic Consensus) ditandai
dengan struktur palindromik pusat yang bersifat konservatif (Hulton et al., 1991). Sementara elemen BOX terdiri
atas beberapa subunit berbeda yang bersifat konservatif, yaitu boxA, boxB, dan
boxC dan hanya boxA yang diketahui memiliki sekuen yang sangat konservatif pada
banyak bakteri (Versalovic et al., 1994).
Primer yang umum digunakan pada rep-PCR. (Charan et al., 2011)
rep-PCR telah banyak digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk
identifikasi methylobacter yang
berasosiasi dengan tanaman (Raja et al., 2008),
untuk membedakan strain Eschericia coli
dari ekologi yang berbeda (Dombek et al,.
2000), serta untuk penentuan diversitas genetik pada Pseudomonas fluorescence (Charan et al., 2011).
contoh Profil REP-PCR serta dendrogramnya
2.
Identifikasi
Bakteri dengan sekuen 16S rDNA dan gen gyrB.
Untuk identifikasi bakteri berbasis sekuen biasanya digunakan
suatu marker, baik yang terdapat pada daerah gen maupun daeah DNA non-koding, dengan
karakteristik antara lain: pertama, sebagian besar merupakan housekeeping gene yang ada pada semua
bakteri; kedua, memiliki polimorfisme
yang tinggi sehingga membuatnya dapat dibedakan antara bakteri yang juga
berbeda; ketiga, marker molekuler tersebut harus bersifat sangat konservatif
pada beberapa daerah sehingga memudahkan untuk mendesain primer yang tepat
untuk proses amplifikasi dengan PCR (Liu et
al., 2012). Ada beberapa gen dan daerah
DNA yang memiliki kesemua ciri tersebut dan telah digunakan secara luas untuk
identifikasi bakteri, diantaranya gen 16S rRNA, gen 23S rRNA, daerah ITS, gen rpoB, gen gyrB dan gen recA (Sacchi
et al., 2002; Miflin & Blackall,
2001; Houpikian
& Raoult,
2001; Vos et al., 2012;) Wu & Ahn, 2011; Seo et al., 2009).
Pada tahun 1960-an, Dubnau et al. melaporkan sifat konservatif gen 16S rRNA pada Bacillus
spp. Penggunaan gen 16S rRNA yang luas untuk identifikasi dan taksonomi kemudian
digagas oleh Woese et al. (1980) yang
menunjukkan bahwa hubungan filogenetik
bakteri, termasuk semua bentuk kehidupan, dapat ditentukan dengan membandingkan
suatu bagian kode genetik yang bersifat stabil. Kandidat untuk daerah ini
termasuk gen yang mengkode 5S, 16S, 23S rRNA, maupun daerah IGS (Intergenic
Spacer) (Clarridge, 2004).
Akan tetapi gen 5S rRNA (120 bp) dan 23S rRNA (3300 bp) telah terbatas
penggunaannya. Gen 16S rRNA (1650 bp) merupakan marker yang paling sering
digunakan dan telah merevolusi bidang sistematika mikrobia (Prakash et al., 2007).
Daerah Konservatif dan Variabel Gen 16s rRNA.
Gen 16S rRNA mengkode rRNA subunit kecil ribosom
organisme prokariot. Gen tersebut banyak digunakan dalam analisis filogenetik
karena terdistribusi secara universal, bersifat konservatif, memiliki peran
penting pada ribosom dalam sintesis protein, tidak ditransfer secara
horizontal, serta kecepatan evolusi dengan variasi tingkat yang tepat di antara
organisme. Molekul 16S rRNA memiliki daerah variabel dan konservatif,
dimana primer universal untuk amplifikasi gen 16S rRNA secara lengkap biasanya
dipilih dari daerah konservatif tersebut, sementara daerah variabel
lebih banyak digunakan untuk taksonomi perbandingan (Prakash et al., 2007).
Gen gyrB
menyandi subunit B protein DNA girase, DNA topoisomerase tipe II, yang
berperan penting dalam replikasi DNA dan terdistribusi secara universal di
antara spesies bakteri (Wang
et al., 2007; Watt & Hickson, 1994; Huang, 1996). Kecepatan evolusi molekuler dari gen gyrB lebih cepat dibandingkan sekuen 16S
rRNA (Yamamoto & Harayama, 1995). Sekuen gen gyrB
telah banyak digunakan untuk identifikasi spesies bakteri, seperti spesies Campylobacter (Gunther et al.,
2011), kelompok Bacillus subtilis (Wang et al., 2007), kelompok
Bacillus cereus (La duc et al., 2011), dan spesies Pandorea (Coenye & LiPuma., 2002).
makasih infonya
ReplyDelete