Thursday, 25 February 2016

Laporan Praktikum Mikrobiologi Lingkungan tentang Biogas dari Eceng Gondok



 BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Ketergantungan dunia pada sumber-sumber energi fosil selama ini dan impor energi seperti minyak bumi, gas alam dan batu bara membuat kelangkaan bahan bakar minyak (BBM). Kebutuhan akan bahan bakar minyak semakin meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat pula. Kenaikan harga bahan bakar minyak tidak dapat dielakkan, mengingat kebutuhan yang semakin meningkat namun sumbernya terbatas. Peningkatan harga minyak dunia menjadi salah satu pendorong kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia. Kenaikan harga BBM pasti akan memberikan efek terhadap kenaikan barang-barang kebutuhan yang lainnya. Hal ini dapat membebani masyarakat.

Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) bagi penduduk berpendapatan rendah maupun miskin, terutama di pedesaan, sebagian besar dipenuhi oleh minyak tanah yang memang dirasakan terjangkau karena disubsidi oleh pemerintah. Namun karena digunakan untuk industri atau usaha lainnya, kadang-kadang terjadi kelangkaan persediaan minyak tanah di pasar. Selain itu masyarakat yang tinggal di dekat kawasan hutan berusaha mencari kayu bakar, baik dari ranting-ranting kering dan tidak jarang pula menebangi pohon-pohon di hutan yang terlarang untuk ditebangi, sehingga lambat laun mengancam kelestarian alam di sekitar kawasan hutan. Allah SWT berfirman dalam Qur’an Surat Ar-Ruum ayat 41:
tygsß ßŠ$|¡xÿø9$# Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷ƒr& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ƒÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_ötƒ ÇÍÊÈ  

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”(Q.S. Ar-Ruum : 41).

Ayat di atas menjelaskan kepada kita agar tidak berbuat kerusakan di muka bumi, baik itu di daratan maupun di lautan. Salah satunya adalah eksploitasi sumber energi fosil yang berlebih-lebihan. Hal ini tentunya dapat menyebabkan kerusakan di muka bumi. Oleh karena itu diperlukan pemanfaatan sumber energi terbarukan yang berasal dari sumber non fosil seperti sampah perkotaan, kotoran ternak, limbah pertanian dan sumber biomassa lainnya sebagai sumber energi alternatif ataupun sebagai penghematan penggunaan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi. Energi terbarukan lain yang dapat dihasilkan dengan teknologi tepat guna yang relatif sederhana adalah sumber energi biogas yang dihasilkan oleh fermentasi anaerobik dari bahan-bahan organik.
Eceng gondok (Eicchornia crassipes) merupakan jenis gulma yang pertumbuhannya sangat cepat. Pertumbuhan eceng gondok dapat mencapai 1.9% per hari dengan tinggi antara 0.3-0.5 m. Pertumbuhannya yang begitu pesat, dirasakan sangat merugikan karena sifat eceng gondok yang menutupi permukaan air akan menyebabkan kandungan oksigen berkurang. Pada umumnya eceng gondok tumbuh dengan cara vegetatif yaitu dengan menggunakan stolon. Kondisi optimum bagi perbanyakannya memerlukan kisaran waktu anta 11-18 hari. Tumbuhan eceng gondok akan berpengaruh terhadap kadar CO2 yang terdapat pada air. Peningkatan CO2 pada air akan mengawali rata-rata bersih fotosintesis. Setelah terjadi adaptasi indeks luas pada daun dan pada pangkalnya menyokong perbaikan berat kering (Yonathan et al, 2013).
Disamping efek negatif dari tanaman eceng gondok, tanaman yang merupakan jenis gulma ini memiliki beberapa nilai ekonomis yang dapat dimanfaatkan. Diantara beberapa kemungkinan, yang paling menarik adalah produksi gas metana dengan menggunakan eceng gondok dengan metode anaerobic digestion (Yonathan et al, 2013).
Eceng gondok dapat dimanfaatkan dalam produksi biogas karena mempunyai kandungan hemiselulosa yang cukup besar dibandingkan komponen organik tunggal lainnya. Hemiselulosa adalah polisakarida kompleks yang merupakan campuran polimer yang jika dihidrolisis menghasilkan produk campuran turunan yang dapat diolah dengan metode anaerobic digestion untuk menghasilkan dua senyawa campuran sederhana berupa metan dan karbon dioksida yang biasa disebut biogas (Yonathan et al, 2013). Menurut Malik (2006),  eceng gondok mengandung 95% air dan menjadikannya terdiri dari jaringan yang berongga, mempunyai energi yang tinggi, terdiri dari bahan yang dapat difermentasikan dan berpotensi sangat besar dalam menghasilkan biogas.
Pembuatan biogas tidak terlepas dari peranan bakteri metanogenik. Bakteri ini yang akan merombak enceng gondok (Eichhorniacrassipes (Mart.) Solms) menjadi gas metana. Menurut Levett (1991), bakteri metanogen merupakan salah satu jenis dari sekian banyak bakteri dengan ciri khasnya yaitu menghasilkan gas metan. Sifat tersebut yang membedakan bakteri ini dengan bakteri anaerob lainnya. Bakteri metanogen menggunakan senyawa karbon dan energi untuk melakukan proses metanogenesis. Senyawa karbon yang digunakan misalnya campuran senyawa H2 dan CO2, formiat, metanol, metilamin, dan asetat. Metanogen juga berperan penting terhadap perputaran H2 pada lingkungan yang anaerob.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perlu untuk dilaksanakan praktikum tentang Aktivitas Bakteri Metanogen dari Slurry Eceng Gondok (Eichhorniacrassipes (Mart.) Solms) dalam Menghasilkan Biogas.

1.2  Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam praktikum ini adalah bagaimana aktivitas bakteri metanogen dari slurry eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart.) Solms) dalam menghasilkan biogas?

1.3  Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui aktivitas bakteri metanogen dari slurry eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart.) Solms) dalam menghasilkan biogas.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Eceng Gondok (Eichhornia crassipes (Mart.) Solms)
Eichornia crassipes atau biasa dikenal dengan nama eceng godok merupakan tumbuhan yang hidup mengapung di air dan kadang-kadang berakar dalam tanah. Eceng gondok pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon, Brasil. Awalnya didatangkan ke Indonesia pada tahun 1894 dari Brazil untuk koleksi Kebun Raya Bogor. Ternyata kemudian tumbuhan ini menyebar luas ke beberapa perairan di Indonesia karena kemampuannya menyerap nutrient terutama nitrogen, fosfat, dan potasium juga logam-logam berat seperti Cr, Pb, Hg, Cd, Cu, Fe, Mn, Zn dengan baik (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2009). 
Eceng gondok berkembangbiak dengan sangat pesat. Dalam waktu 7-10 hari eceng gondok dapat bertambah 2 kali lipat. Menurut Heyne (1987) menyebutkan bahwa dalam waktu 6 bulan eceng gondok dapat tumbuh pada areal 1 Ha dengan mencapai bobot basah 125 ton. Pertumbuhan yang sangat pesat menyebabkan eceng gondok dianggap sebagai tanaman gulma di beberapa wilayah perairan Indonesia. Di kawasan perairan danau atau waduk, eceng gondok tumbuh pada bibir-bibir pantai sampai sejauh 5-20 m. Diantara pemicu peningkatan kesuburan eceng gondok yaitu adanya sedimentasi lahan, aktivitas masyarakat seperti mandi dan cuci, budidaya perikanan.
Kondisi merugikan yang timbul sebagai dampak pertumbuhan eceng gondok diantaranya adalah (Widyanto, 1975):
1.    Menurunnya jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air (DO:Dissolved Oxygens).
2.    Mengganggu lalu lintas (transportasi) air, khususnya bagi masyarakat yang kehidupannya masih tergantung dari sungai di pedalaman Kalimantan dan beberapa daerah lainnya.
3.    Meningkatnya habitat bagi faktor penyakit pada manusia.
4.    Menurunkan nilai estetika lingkungan perairan.
Eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, bahan kerajinan, pupuk, dan yang menarik adalah eceng gondok juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas. Pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan baku biogas dikarenakan memiliki kandungan 43% hemiselulosa dan selulosa sebesar 17%. Hemiselulosa akan dihidrolisis menjadi glukosa oleh bakteri melalui proses anaerobic digestion, yang akan menghasilkan gas metan (CH4) dan karbondioksida (CO2) sebagai biogas. Biogas merupakan salah satu sumber energi alternatif terbarukan yang paling efisien dan efektif untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak. Dalam hal ini pemerintah telah menerbitkan peraturan Presiden RI nomor 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2009).

2.2    Biogas
Biogas merupakan salah satu sumber energi alternatif terbarukan yang paling efisien dan efektif. Biogas memproses limbah bio atau biomassa didalam alat kedap udara yang disebut digester. Salah satu alternatif pengolahan limbah adalah memanfaatkannya sebagai sumber energi yang ekonomis, yaitu dalam bentuk biogas. Teknologi biogas dilakukan dengan memanfaatkan kandungan bahan organik untuk  pertumbuhan mikroorganisme yang potensial menghasilkan biogas (Anunputtikul, 2004).
Biogas adalah sumber energi alternatif berupa campuran gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2) hasil fermentasi bakteri metanogen pada kondisi anaerobic. Energi yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana. Semakin tinggi kandungan metana, semakin besar nilai kalor pada biogas. Sebaliknya jika kandungan metana rendah, nilai kalor pada biogas tersebut juga rendah. Nilai kalor yang rendah pada biogas dapat ditingkatkan dengan menghilangkan karbondioksida (Gunawan, 2013).
Komposisi biogas yang dihasilkan sangat tergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Namun demikian, komposisi biogas yang utama adalah gas metana (CH4) dan gas karbondiokasida (CO2) dengan sedikit hydrogen sulfida (H2S). Komposisi senyawa penyusun biogas adalah sebagai berikut:

Tabel 1.Komposisi senyawa penyususn biogas
Komponen
Konsentrasi (%)
Metana (CH4)
Karbondioksida (CO2)
Nitrogen (N2)
Hidrogen (H2)
Hidrogen Sulfida (H2S)
Oksigen (O2)
55-75
25-45
0-0,3
1-5
0-3
0,1-0,5

Pembentukan biogas meliputi tiga tahap proses yaitu (Haryati, 2006):
1.    Hidrolisis, pada tahap ini terjadi penguraian bahan-bahan organic mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana, perubahan struktur bentuk polimer menjadi monomer.
2.    Pengasaman ,pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederhana ini yaitu asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida, hydrogen dan amonia.
3.    Metanogenik, pada tahap metanogenik terjadi proses pembentukan gas metan. Bakteri pereduksi sulfat juga terdapat dalam proses ini, yaitu mereduksi sulfat dan komponen sulfur lainnya menjadi hydrogen sulfida.
 
Gambar1.Tahapan Proses Pembentukan Biogas (Yazid dan Bastianudin, 2011).

Pada dasarnya efisiensi produksi biogas sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, meliputi suhu, derajat keasaman (pH), nutrisi (nisbah karbon dan nitrogen), dan lain-lain. Kondisi optimum proses produksi biogas sebagai berikut (Hermawan, 2007): 
Tabel 2. Kondisi optimum produksi biogas
Parameter
Kondisi Optimum
Suhu
Derajat Keasaman
Nutrient Utama
Nisbah Karbon dan Nitrogen
Sulfida
Logam-logam Berat Terlarut
Sodium
Kalsium
Magnesium
Ammonia
35°C
7-7,2
Karbon dan Nitrogen
20/1 sampai 30/1
< 200 mg/L
< 1 mg/L
< 5000 mg/L
< 2000 mg/L
< 1200 mg/L
< 1700 mg/L

2.1    Bakteri Metanogenik
Bakteri metanogen merupakan salah satu jenis dari sekian banyak bakteri dengan ciri khasnya yaitu menghasilkan gas metan. Sifat tersebut yang membedakan bakteri ini dengan bakteri anaerob lainnya. Bakteri metanogen menggunakan senyawa karbon dan energi untuk melakukan proses metanogenesis. Senyawa karbon yang digunakan misalnya campuran senyawa H2 dan CO2, formiat, metanol, metilamin, dan asetat. Metanogen juga berperan penting terhadap perputaran H2 pada lingkungan yang anaerob (Levett, 1991).
Bakteri metanogen dapat dibedakan menjadi tiga sub group taksonomi yaitu (Vigneswaran et al., 1986):
1.    Metanogen yang berbentuk batang, lancet, atau bulatan adalah metanogen yang mengkatabolis H2 + CO2, formiat, atau H2 + methanol, dinding selnya mengandung pseudomurein. Contohnya: Methano bacterium, Methano brevibacter, Methano spaera, danMethano thermus.
2.    Metanogen yang berbentuk pseudosarcina, bulat, atau batang yang terbungkus dapat tumbuh pada trimetil amin atau asetat. Contohnya: Methanococceides, Methanohalobium, Methanohalophilus, Methanolobus, Methanosarcina, dan Methanothrix.
3.    Metanogen yang berbentuk bulatan, batang, spiral dan pipih, hidup pada H2 + CO2, formiat, atau alkohol  + CO2, pseudomurein tidak ada dan sel larut dalam detergen, kecuali sel spiral karena memiliki daya tahan. Contohnya :Methanococcus, Methanocorpusculum, Methanoculleus, Methanogenium, Methanolacinia,  Methanomicrobium, Methanoplanus, danMethanospirillum.
       Bakteri metanogenik tidak aktif pada temperatur sangat tinggi atau rendah. Temperatur optimumnya yaitu sekitar 35oC. Jika temperature turun menjadi 10oC, produksi gas akan berhenti. Produksi gas yang memuaskan berada pada daerah mesofilik yaitu antara 25-30oC. Kegagalan proses pencernaan anaerobic dalam digester biogas bisa dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri metanogen terhadap bakteri asam yang menyebabkan lingkungan menjadi sangat asam (pH kurang dari 7) yang selanjutnya menghambat kelangsungan hidup bakteri metanogen. Kondisi keasaman yang optimal pada pencernaan anaerobic yaitu sekitar pH 6,8 sampai 8, laju pencernaan akan menurun pada kondisi pH yang lebih tinggi atau rendah (Dixit, 1984).



BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1    Waktu dan Tempat
Praktikum ini pada proses pembuatan biogas dilaksanakan pada hari Rabu, 29 April 2015. Proses isolasi dilaksanakan pada hari Rabu, 13 Mei 2015, dan tahap purifikasi dilaksanakan pada hari Rabu, 20 Mei 2015. Keseluruhan proses dan prosedur dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

3.2    Alat dan Bahan
3.2.1        Alat
            Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:
1.      Botol kaca 1 liter                                                               4 buah
2.      Botol kaca 150 ml                                                             4 buah
3.      Kertas label                                                                       secukupnya
4.      Selang                                                                               8 buah
5.      Autoklaf                                                                            1 buah
6.      Timbangan analitik                                                           1 buah
7.      Blender                                                                             1 buah
8.      Gelas ukur                                                                         1 buah
9.      Pipet ukur                                                                          1 buah
10.  Hot plate                                                                           1 buah
11.  LAF                                                                                  1 buah
12.  Spirtus                                                                               1 buah
13.  Stirrer                                                                                1 buah
14.  Steroform                                                                          secukupnya
15.  Syringe                                                                              1 buah



3.2.2        Bahan
            Bahan yang digunakan dalam prakitkum ini adalah sebagai berikut:
1.      Eceng Gondok (Eichhorniacrassipes (Mart.) Solms)       200 gram
2.      Larutan NaOH                                                                  secukupnya
3.      Media selektif Ros Bengal                                                128,2 gram
4.      Plastik wrap                                                                      secukupnya
5.      Aluminium foil                                                                   secukupnya
6.      Karet gelang                                                                      secukupnya
7.      Balon                                                                                 4 buah
8.      Vaselin                                                                              secukupnya

3.3    Langkah Kerja
3.3.1        Pembuatan Biogas
  1. Disterilisasi semua alat dengan autoklaf dengan suhu 121oC, tekanan 1 atm dan dibiarkan selama 15 menit.
  2. Persiapan reactor anaerobic menggunakan botol 1 L yang ditutup dengan karet berselang yang dihubungkan kebotol 150 mL yang berfungsi sebagai pengaman agar air dari baskom tidak masuk kebotol 1 L serta menampung slurry eceng gondok yang ikut terbawa saat gas menuju gelas ukur. Kemudian dihubungkan lagi ke gelas ukur 1 L untuk pengamatan penurunan air yang ada dalam gelas ukur akibat terbentuknya biogas.
  3. Sampel eceng gondok (batang dan daun) kemudian dicuci bersih dengan aquades dan dicacah hingga berukuran kecil-kecil, kemudian diblender dengan ditambahkan air  sampai homogen sesuai dengan variasi campuran eceng gondok: air yaitu 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6 (50 gr:150 mL; 50 gr:200 ml; 50 gr:250 mL; dan 50 gr:300 mL).
  4. Campuran (Slurry) yang terbentuk selanjutnya difermentasi dalam reaktor yang sudah dipersiapkan hingga terbentuk biogas. Pada botol 250 mL diberi larutan NaOH agar dapat mengikat H2S, CO2, dan gas-gas asam lainnya. Sehingga diharapkan yang tersisa hanya gas metan (Kapahang, 2007). Setiap hari diamati volume gas yang terbentuk pada gelas ukur. Pengamatan dilakukan sampai sampel benar-benar sudah tidak menghasilkan biogas. 

    3.3.2  Isolasi Bakteri Metanogenik dari Reaktor Biogas
    1. Proses isolasi diawali dengan pembuatan media. Pembuatan media diawali dengan menimbang media Ros Bengal 32,2 gram, kemudian dicampur dengan aquades 1 liter dalam Erlenmeyer kemudian ditutup rapat dengan kapas dan dibungkus dengan aluminium foil dan plastik wrap. Selanjutnya dipanaskan dengan menggunakan hot plate dan diaduk dengan magnet stirrer. Media yang telah homogeny disterilisasi dengan autoklaf dengan suhu 121oC, tekanan 1 atm dan dibiarkan selama 15 menit (Hadioetomo, 1990).

      2. Diambil 1 ml slurry dengan menggunakan pipet tetes dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml aquades lalu diaduk hingga rata.
      3. Diambil 1 ml larutan dan dilakukan pengenceran hingga 10-3
      4. Diambil 1 ml larutan pengencer yang 10-3 dituangkan ke dalam cawan petri yang berisi media media Ros Bengal yang sudah padat, kemudian digoyang-goyang cawan petri secara perlahan. 
      5. Disimpan di dalam inkubator dengan suhu 40 oC.

      3.3.3          Purifikasi Bakteri Metanogenik
      1.       Disiapkan cawan petri yang berisi bakteri yang akan di purifikasi.
      2.       Disterilkan jarum ose untuk memisahkan koloni dengan pemijaran langsung dengan api bunsen.
      3.       Disterilkan cawan petri yang berisi media Ros Bengal dengan pemijaran langsung dengan api bunsen.
      4.       Digoreskan jarum ose ke koloni yang akan di purifikasi.
      5.       Dibuka sedikit media lalu digoreskan pada media dengan metode kuadran streak dan tetap didekatkan dengan bunsen.
      6.       Diutup kembali cawan petri, kemudian di wrap dengan plastik wrap dan diberi label.
       

      BAB IV
      HASIL DAN PEMBAHASAN

      4.1    Hasil Pengamatan
      4.1.1   Gambar Pembuatan Biogas
      No
      Gambar Pengamatan
      Keterangan
      1
      Sterilisasi alat dan bahan dalam autoklaf dengan suhu 121 oC pada tekanan 1 atm selama 15 menit.
      2
      Proses perangkaian reaktor biogas, dari masing-masing botol dihubungkan dengan selang yang dirapatkan dengan vaselin.
      3
      Reaktor biogas yang berisi slurry eceng gondok dengan perbandingan 1:3 (50 gram eceng gondok dilarutkan dalam 150 mL aquades), disebut dengan reaktor I
      4
      Reaktor biogas yang berisi slurry eceng gondok dengan perbandingan 1:4 (50 gram eceng gondok dilarutkan dalam 200 mL aquades), disebut dengan reaktor II
      5
      Reaktor biogas yang berisi slurry eceng gondok dengan perbandingan 1:5 (50 gram eceng gondok dilarutkan dalam 250 mL aquades), disebut dengan reaktor III
      6
      Reaktor biogas yang berisi slurry eceng gondok dengan perbandingan 1:6 (50 gram eceng gondok dilarutkan dalam 300 mL aquades), disebut dengan reaktor IV
      4.1.2        Isolasi Bakteri Metanogenik dari Reaktor Biogas
      No
      Gambar
      Keterangan
      1
      Hasil isolasi yang menunjukkan adanya mikroba pada maisng-masing kelompok. Pada cawan petri kelompok 4 terjadi kontaminan yang ditunjukkan dengan adanya koloni jamur berwarna putih coklat bertepi kehijauan.

      4.1.3        Purifikasi Bakteri Metanogenik
      No
      Gambar
      Keterangan
      1.

      Hasil purifikasi bakteri metanogenik pada cawan petri 1 (kelompok 1)
      2.

      Hasil purifikasi bakteri metanogenik pada cawan petri 2 (kelompok 2)
      3.
      Hasil purifikasi bakteri metanogenik pada cawan petri 3 (kelompok 3)

      1.2         Pembahasan
      1.2.1        Pembauatan Biogas
      Proses pembuatan biogas dari slurry eceng gondok dimulai dengan melakukan sterilisasi semua alat dengan autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 1 atm, dan dibiarkan selama 15 menit. Proses ini bertujuan agar semua alat yang digunakan dalam kondisi yang steril (tidak ada kontaminasi). Tahap selanjutnya yaitu mempersiapkan reaktor anaerobic, reaktor yang digunakan adalah botol 1 L yang ditutup dengan karet berselang yang dihubungkan kebotol 150 mL yang berfungsi sebagai pengaman agar air dari baskom tidak masuk kebotol 1 L serta menampung slurry eceng gondok yang ikut terbawa saat gas menuju gelas ukur. Kemudian dihubungkan lagi ke gelas ukur 1 L untuk pengamatan penurunan air yang ada dalam gelas ukur akibat terbentuknya biogas.
      Tahap selanjutnya yaitu persiapan sampel. Sampel eceng gondok (batang dan daun) yang akan digunakan terlebih dahulu dicuci bersih dengan aquades dan dicacah hingga berukuran kecil-kecil, kemudian diblender dengan ditambahkan air  sampai homogen sesuai dengan variasi campuran eceng gondok dan air, yaitu 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6 (50 gr:150 mL; 50 gr:200 ml; 50 gr:250 mL; 50 gr:300 mL). Pencacahan dan pengenceran ini bertujuan agar memudahkan bakteri dalam mendegradasi selulosa dan lignin yang terdapat pada eceng gondok sehingga menghasilkan biogas lebih cepat.
      Campuran (Slurry) yang terbentuk selanjutnya difermentasi dalam reaktor yang sudah dipersiapkan hingga terbentuk biogas. Pada botol 150 mL diberi larutan NaOH. Pemberian NaOH ini bertujuan agar dapat mengikat H2S, CO2, dan gas-gas asam lainnya. Sehingga diharapkan yang tersisa hanya gas metan (Kapahang, 2007). Prayugi dkk (2015) dalam Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem menjelaskan bahwa pada perlakuan dengan menggunakan NaOH 0,1 M kandungan CO2 yang terkandung pada biogas yang dihasilkan menurun hingga 4,79 %. Maarif dan Arif F (2009) dalam Prayugi dkk (2015) menambahkan bahwa jika biogas yang mengandung gas CO2 diberi larutan NaOH maka akan terjadi kontak dan terjadi reaksi kimia yang mengikat gas CO2 yang terkandung pada biogas.
      Setelah alat terangkai dengan benar, selanjutnya setiap persambungan antara botol dengan sterofom dan sterofom dengan selang diberi atau diolesi dengan vaseline. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kebocoran gas dan agar prinsip anaerob terjaga dengan baik. Prinsip dalam pembuatan biogas adalah respirasi anaerob (fermentasi) sehingga membutuhkan ruang tertutup tanpa udara. Menurut Fairus (2011) menyatakan bahwa biogas adalah gas mudah terbakar (flammable) yang dihasilkan oleh aktifitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara) termasuk diantaranya kotoran manusia dan hewan, limbah domestik, dan sampah biodegradable. Proses degradasi tanpa melibatkan oksigen ini disebut anaerobic digestion.
      Pengamatan dilakukan setiap 2 hari sekali dengan melihat besar gelembung yang timbul pada balon. Pengamatan dilakukan sampai sampel benar-benar sudah tidak menghasilkan biogas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pembuatan biogas dengan pengenceran 1:6 (50 gr: 300 mL) menghasilkan gas yang paling besar, ditunjukkan dengan menggembungnya balon yang menandakan bahwa didalamnya terdapat gas metan. Sedangkan ketiga perlakuan yang lain, yaitu pengenceran 1:3, 1:4, dan 1:5 (50 gr:150 mL; 50 gr:200 ml; dan 50 gr:250 mL) balon ukur tidak menggembung atau hanya menggembung sedikit yang menandakan bahwa gas metan yang dihasilkan hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
      Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa pada pengenceran 1:6 adalah perbandingan yang paling sesuai dalam pembuatan biogas dari slurry eceng gondok. Sedangkan pada perlakuan yang lain tidak berhasil menghasilkan gas metan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya yaitu karena terkontaminasi oleh jamur, hal ini bisa dilihat dengan tumbuhnya jamur yang besar pada reaktor 1 L. Jamur ini dapat menghambat bakteri methanogen dalam menguraikan slurry eceng gondok menjadi gas metan.
      Selanjutnya dilakukan uji nyala api dengan cara mengambil gas pada balon menggunakan syringe, kemudian dinyalakan dengan korek api pada ujung jarum syringe tersebut sambil ditekan syringenya agar gasnya kelur. Hasil pengujian menunjukkan tidak adanya nyala api. Meskipun tidak menunjukkan hasil ketika diuji dengan korek api, yang menandakan bahwa konsentrasi metana yang dihasilkan masih terlalu sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas bakteri metanogenik belum maksimal pada pembuatan biogas ini.

      1.2.2        Isolasi Bakteri Metanogenik dari Reaktor Biogas
      Isolasi adalah mengambil mikroorganisme yang terdapat di alam dan menumbuhkannya dalam suatu medium buatan. Proses pemisahan atau pemurnian dari mikroorganisme lain perlu dilakukan karena semua pekerjaan mikrobiologis, misalnya telaah dan identifikasi mikroorganisme, memerlukan suatu populasi yang hanya terdiri dari satu macam mikroorganisme saja. Prinsip dari isolasi mikroba adalah memisahkan satu jenis mikroba dengan mikroba lainnya yang berasal dari campuran bermacam-macam mikroba. Hal ini dapat dilakukan dengan menumbuhkannya dalam media padat sel-sel mikroba akan membentuk suatu koloni sel yang tetap pada tempatnya. Jika sel-sel tersebut tertangkap oleh media padat pada beberapa tempat yang terpisah,  maka setiap sel atau kumpulan sel yang hidup akan berkembang menjadi suatu koloni yang  terpisah, sehingga memudahkan pemisahan selanjutnya (Dwidjoseputro, 1998).
      Proses isolasi diawali dengan pembuatan media. Pembuatan media diawali dengan menimbang media Ros Bengal 32,2 gram, kemudian dicampur dengan aquades 1 liter dalam Erlenmeyer, kemudian ditutup rapat dengan kapas dan dibungkus dengan aluminium foil dan plastik wrap. Selanjutnya dipanaskan dengan menggunakan hot plate dan diaduk dengan magnet stirrer. Media yang telah homogen disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 1 atm dan dibiarkan selama 15 menit (Hadioetomo, 1990).
      Tahap selanjutnya yaitu mengambiil 1 ml slurry dengan menggunakan pipet tetes pada reaktor (botol 1 L), reaktor yang dipilih adalah yang berhasil menghasilkan gas, yaitu botol 1 L pada pengenceran 1:6. Kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 mL aquades lalu diaduk hingga rata. Kemudian diambil 1 mL larutan dan dilakukan pengenceran hingga 10-3. Pengenceran ini hanya dilakukan sampai 10-3 karena keterbatasan alat yang digunakan.
      Setelah dilakukan pengenceran sampai 10-3, selanjutnya diambil 1 mL larutan pengencer pada botol 10-3 dan dituangkan ke dalam cawan petri yang berisi media Ros Bengal yang sudah padat, kemudian digoyang-goyang cawan petri secara perlahan. Kemudian disimpan di dalam inkubator dengan suhu 40 oC. Menurut Hadioetomo (1990), bahwa untuk memperoleh koloni murni dari populasi campuran mikroorganisme adalah dengan mengencerkan spesimen dalam medium agar yang telah dicairkan dan didinginkan yang kemudian dicawankan. Karena konsentrasi sel-sel mikroba di dalam spesimen pada umunya tidak diketahui sebelumnya, maka pengenceran perlu dilakukan beberapa tahap sehingga sekurang-kurangnya satu di antara cawan tersebut mengandung koloni terpisah di atas permukaan ataupun di dalam agar. Metode ini memboroskan bahan dan waktu namun tidak memerlukan keterampilan yang tinggi.
      Hasil isolasi yang didapatkan adalah koloni mikroba yang bermacam-macam morfologinya. Kelompok 1 pada pengenceran 10-2, ditemukan koloni bakteri yang berwarna merah muda transparan. Pada kelompok 2, pada pengenceran 10-1 didapatkan koloni bakteri dengan morfologi berwarna putih, tersebar di luaran media. Pada hasil isolasi kelompok 3, pada pengenceran 10-2 didapatkan koloni bakteri yang memiliki morfologi yang berwarna putih, berbentuk bulat dengan tepi bergerigi, dan memenuhi media. Sedangkan pada kelompok 4, pada pengenceran 10-3 didapatkan hasil isolat yang berwarna putih namun pada tepian terdapat warna hijau kehitaman, dan berbentuk bulat. Pada isolat ini juga ditemukan adanya miselium yang berarti bahwa koloni ini adalah koloni jamur. Hal ini menandakan bahwa telah terjadi kontaminasi.
      Menurut Adnany dan Razif (2000) yang menyatakan bahwa morfologi bakteri ini dapat berupa batang, bulat, pseudosarcina, spiral, dan kelompok multiseluler motile atau nonmotile. Gram negatif atau positif tetapi selnya memiliki baik murein ataupun membran luar. Bakteri ini membutuhkan lingkungan yang benar-benar anaerob. Dapat bersifat kemoautotrophik atau kemoheterotrophik, dengan metan sebagai hasil dari metabolisme katabolik ini. H2 + CO2, formiat, asetat, senyawa metil (metanol, metilarnin, metilsulfit),   metanol  + H2,  atau alkohol  + CO2  berfungsi  sebagai  sumber karbon  dan energi.  Perbedaan  bakteri  methanogen dengan  organisme   lain  sangat  jelas,   semua jenis bakteri methanogen adalah mikroba yang menghasilkan gas  rnetan  sebagai hasil  katabolis utama. Tidak satupun organisme kecuali  bakteri methanogen yang termasuk katagori  ini.
      Hasil isolat bakteri methanogen yang didapatkan ini masih bercampur dengan bakteri jenis lain atau belum murni dan juga didapatkan isolat bakteri yang bercampur dengan jamur. Hal ini terjadi karena pada saat proses inokulasi bakteri masih terjadi kontaminasi, sehingga isolat yang dihasilkan bercampur dan tidak murni. Sehingga perlu dilakukan lagi pemurnian atau purifikasi.


      1.2.3         Purifikasi Bakteri Methanogenik
      Purifikasi atau pemurnian bakteri metanogenik dimulai dengan memilih cawan petri yang berisi bakteri yang akan di purifikasi, dalam hal ini dipilih hasil isolasi yang terbaik. Kemudian disterilkan jarum ose untuk memisahkan koloni dengan pemijaran langsung dengan api bunsen. Kemudian disterilkan media Ros Bengal dengan pemijaran langsung dengan api bunsen. Lalu digoreskan jarum ose ke koloni yang akan di purifikasi dengan cara membuka sedikit media lalu digoreskan pada media dengan metode kuadran streak dan tetap didekatkan dengan bunsen. Hal ini bertujuan untuk menghindari kontaminasi. Selanjutnya diutup kembali cawan petri dan diwrap dengan plastik wrap, kemudian diberi label. Selanjutnya diinkubasi di inkubator pada suhu 40 oC.
      Menurut Hadioetomo (1990), bahwa metode cawan gores keuntungannya yaitu menghemat bahan dan waktu. Metode cawan gores yang dilaksanakan dengan baik kebanyakan akan menyebabkan terisolasinya mikroorganisme yang diinginkan. Namun untuk memperoleh hasil yang baik diperlukan keterampilan yang lumayan yang biasanya diperoleh dari pengalaman. Dua macam kesalahan yang umum sekali dilakukan oleh para mahasiswa yang baru mulai mempelajari mikrobiologi ialah tidak memanfaatkan permukaan medium dengan sebaik-baiknya untuk digores sehingga pengenceran mikroorganisme menjadi kurang lanjut dan cenderung untuk menggunakan inokulum terlalu banyak sehingga menyulitkan pemisahan sel-sel yang digoreskan.
      Hasil pemurnian atau purfikasi yang telah didapatkan adalah koloni yang terbentuk mengikuti alur streak yang dilakukan. Pada isolat kelompok 1, didapatkan koloni yang berwarna merah muda transparan yang tidak mengikuti alur streak. Sehingga hasil ini kurang akurat untuk dapat dilakukan identifikasi bakteri metanogen. Pada isolat kelompok 2, didapatkan bakteri yang berwarna merah muda namun lebih tebal dari isolat pertama. Tumbuhnya koloni pada isolat kedua mengikuti alur streak. Sedangkan pada isolat kelompok 3, didapatkan koloni yang berwarna putih dan tumbuh mengikuti alur streak. Dan koloni pada isolat ketiga ini semakin jauh dari garis gores pertama, terlihat koloni yang putus-putus sehingga membentuk bulatan dengan tepi yang rata.
      Bakteri  methanogen  merupakan  salah  satu jenis dari  sekian  banyak  bakteri  dengan  ciri  khasnya yaitu menghasilkan gas metan. Sifat tersebut yang membedakan  bakteri  ini dengan  bakteri  anaerob lainnya. Bakteri methanogen     menggunakan senyawa karbon dan energi untuk melakukan proses   methanogenesis, senyawa karbon yang digunakan  misalnya campuran senyawa  H2 dan CO2, formiat, methanol, metilarnin, asetat. Methanogen juga berperan   penting    terhadap perputaran H2 pada lingkungan yang anaerob (Adnany dan Razif, 2000).
      Bakteri  methanogen dijumpai pada berbagai macam habitat anaerobik    termasuk sedimen, sludge dan digester kotoran hewan, buangan hewan dan manusia dalam jurnlah  besar, usus serangga, kayu basah pada pohon, rumen. Secara umum bakteri methanogen dapat dijumpai inaktif dalam kondisi ada oksigen,  meskipun  tidak semua spesies mati secara cepat  oleh  adanya   oksigen. Belum ada laporan percobaan yang telah dilakukan untuk mempelajari  keberadaan dan jumlah  bakteri methanogen yang berlebih pada lingkungan oksik (Adnany dan Razif, 2000).
      Bakteri methanogen  merupakan "kunci"  organisme yang memproduksi  gas metan dari bahan  buangan. Hanya  bakteri  methanogen  yang  mampu menguraikan   asetat   dan   hidrogen   menjadi   gas metan sebagai produk akhir. Tanpa keberadaan kelompok dari mikroorganisme ini keefektifan penguraian   daripada total materi organik akan berhenti pada akumulasi produk dari mikroba fermentasi, yaitu fatty acids dan alkohol. Mekanisme energi yieldnya tidak   banyak diketahui (Adnany dan Razif, 2000).




      BAB V
      PENUTUP

      1.1    Kesimpulan
      Kesimpulan dari praktikum ini adalah hasil yang didapat dalam pembuatan biogas dari eceng gondok memperlihatkan adanya gas yang menggembungkan balon. Volume balon terbesar terdapat pada reaktor IV yaitu dengan perbandingan 1:6. Meskipun tidak menunjukkan nyala api ketika diuji dengan pemantik api, yang menandakan bahwa konsentrasi metana yang dihasilkan masih terlalu sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas bakteri metanogenik belum maksimal pada pembuatan biogas ini. Sedangkan hasil isolasi yang didapatkan yaitu koloni mikroba yang bermacam-macam morfologinya, kelompok 1 pengenceran 10-2, ditemukan koloni bakteri yang berwarna merah transparan. Kelompok 2 pengenceran 10-1 didapatkan koloni bakteri yang berwarna putih, tersebar di luaran media. Kelompok 3 pengenceran 10-2 didapatkan koloni bakteri yang berwarna putih, berbentuk bulat dengan tepi bergerigi, dan memenuhi media. Dan kelompok 4 pengenceran 10-3 ditemukan koloni jamur yang berwarna putih namun pada tepian terdapat warna hijau kehitaman, dan berbentuk bulat, yang menandakan bahwa terjadinya kontaminasi. Sedangkan hasil pemurnian atau purfikasi ini adalah kelompok 1, didapatkan koloni yang berwarna merah muda transparan yang tidak mengikuti alur streak. Kelompok 2, didapatkan bakteri yang berwarna merah muda namun lebih tebal dari isolat pertama. Tumbuhnya koloni pada isolat kedua mengikuti alur streak. Sedangkan kelompok 3, didapatkan koloni yang berwarna putih dan tumbuh mengikuti alur streak. Dan koloni pada isolat 3 ini semakin jauh dari garis gores pertama, terlihat koloni yang putus-putus sehingga membentuk bulatan dengan tepi yang rata.

      1.2  Saran
      Waktu fermentasi yang dibutuhkan sebaiknya diperpanjang agar didapatkan gas metan yang lebih banyak.



      DAFTAR PUSTAKA

      Adnany dan M. Razif, 2000, Identifikasi Morfologi Bakteri Methanogen dari Efluen Clarifier  IPLT Keputih Surabaya. Jurnal  Purifikasi, VoL. 1, No.6. Hal: 355–360.
      Anunputtikul, W. dan Rodong, S. 2004. Investigation of the potentian production of biogas from cassava tuber. The Thai Society for Biotechnology and JSPS-NRCT Symposium Thailand.
      Dixit, S., Kharaya, A., danSrinivas, G. 2010.Design and Development of Floating Prototype Bio-digester.Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences 1, 62-66.
      Dwidjoseputro, 1980.  Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan: Jakarta.
      Fairus, Sirin, Salafudin, L. Rahman, dan Emma Apriani, 2011, Pemanfaatan Sampah Organik Secara Padu Menjadi Alternatif Energi : Biogas dan Precursor Briket, Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan” Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia.
      Gunawan, D. 2013. Produksi biogas sebagai sumber energi alternatif dari kotoran sapi. Scentific Article. Vol.1, No. 2.
      Hadioetomo, R. S., 1990.  Mikrobiologi Dasar dalam Praktek, Gramedia: Jakarta.
      Haryati, Tuti. 2006. Biogas: Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi Alternatif. Bogor: BPT.
      Hermawan, Beni dkk. 2007. Pemanfaatan Sampah Organik sebagai Sumber Biogas Untuk Mengatasi Krisis Energi Dalam Negeri. Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
      Heyne, K., (1987), Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid 3, Jakarta: Departemen Kehutanan.
      Kapahang, A., Bintang, M., Hawab, M., Sastraatmaja, D.D. dan Solichin, D. D. 2007. Isolasi, Karakterisasi, dan Identifiksi Bakteri Metanogenik Asal Limbah Air Kelapa. Forum Pascasarjana, Vol. 30. No. 1.
      Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2009. Penuntun Praktis: Pemanfaatan Eceng Gondok Mejadi Pupuk Organik dan Biogas Untuk Pemuliha Kualitas Lingkungan Danau dan Waduk. Kemen LH.
      Levett, P.N. 1991. Anaerobic Microbiology A Practical Approach. Oxford University Press.
      Malik, A.. 2006. Environmental Challenge Vis a Vis Opportunity: The Case of Water Hyacinth. Environment International. Elsevier Ltd, Vol.33. Page: 122–138.
      Prayugi, Ginanjar Eko, Sumarlan, Sumardi Hadi,  Yulianingsih, Rini. 2015. Pemurnian Biogas Dengan Sistem Pengembunan dan Penyaringan Menggunakan Beberapa Bahan Media. Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem. Vol. 3, no. 1.
      Widyanto, L. 1975. Peran Eceng Gondok sebagai Pembersih Air. Bogor: IPB.
      Vigneswaran, S. Balasuriya, B.L.N. dan Viraghavan, T. 1986. Anaerobic Wastewater Treatment-Attached growth and Sludge Blanket Process.Environmental Sanitation Reviews. No 19/20.
      Yazid, M. danBastianudin, A. 2011.Seleksi Mikroba Metanogenik Menggunakan Irradiasi gamma Untuk Peningkatan Efisiensi Proses Digesti Anaerob Pembentukan Biogas. Jurnal Iptek Nuklir Ganendra Vol. 14 No. 1
      Yonathan, Arnold, A. R. Prasetya, dan B. Pramudono, 2013, Produksi Biogas dari Eceng Gondok (Eicchornia crassipes): Kajian Konsistensi dan pH terhadap Biogas Dihasilkan, Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Vol. 2, No. 2. Hal: 211-215.
        








1 comment:

Sleep Loss and College Student Performance

The college experience is of great value in providing emerging adults with a structured environment in which they can gain the knowledge, sk...